MASALAH GIZI DI INDONESIA

 MASALAH GIZI DI INDONESIA 

Istiana Kusumastuti

Isu gizi di Indonesia menjadi sangat penting karena berkaitan dengan masa depan bangsa. Ketersediaan gizi yang memadai bagi masyarakat merupakan faktor kunci dalam perkembangan suatu negara. Penanggulangan masalah gizi sangat penting dalam strategi pembangunan suatu negara untuk menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang sehat, cerdas, dan produktif. Peningkatan kualitas SDM dimulai dengan penanganan pertumbuhan anak yang baik melalui asupan gizi dan perawatan yang memadai di lingkungan keluarga.

Rencana pembangunan gizi mengacu pada Undang-undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 141. Upaya untuk meningkatkan kualitas gizi individu dan masyarakat dilakukan melalui perbaikan pola makan yang sesuai dengan 13 Pesan Umum Gizi Seimbang (PUGS) dan perubahan perilaku menuju Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi).

Masalah utama gizi di Indonesia meliputi kekurangan energi protein (KEP), kekurangan vitamin A (KVA), gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY), anemia gizi besi (AGB), dan obesitas. Indonesia saat ini menghadapi masalah gizi ganda, yaitu memiliki dua atau lebih masalah gizi sekaligus.

1. Kurang Energi Protein (KEP)

Kekurangan Energi Protein (KEP) terjadi ketika seseorang mengalami defisiensi gizi karena asupan energi dan protein dalam makanan sehari-hari rendah atau karena adanya gangguan kesehatan tertentu. Seorang anak dianggap mengalami kekurangan energi protein (KEP) jika berat badannya kurang dari 80% dari standar indeks berat badan/umur yang ditetapkan oleh WHO-NCHS (Departemen Kesehatan RI, 1997).

Kekurangan Energi Protein (KEP) merupakan salah satu gangguan gizi yang signifikan di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Prevalensinya paling tinggi terjadi pada anak-anak di bawah lima tahun (balita), ibu hamil, dan ibu menyusui. Penyebab kurang gizi pada balita meliputi faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung meliputi kekurangan kalori dan protein, yang berarti kurangnya asupan makanan yang mengandung energi dan protein.

Kekurangan Energi Protein (KEP) adalah salah satu bentuk kekurangan gizi yang dapat menyebabkan penurunan kualitas fisik dan kecerdasan, serta menurunkan daya tahan tubuh. Hal ini meningkatkan risiko penyakit dan kematian, terutama pada kelompok rentan seperti anak-anak dan ibu hamil. Penurunan daya tahan tubuh dapat mengakibatkan kegagalan fungsi organ, seperti organ pencernaan, hati, endokrin, sistem kardiovaskular, dan ginjal.

Klasifikasi KEP:

Marasmus: Marasmus adalah kondisi kekurangan energi dalam makanan yang menyebabkan tubuh menggunakan cadangan protein, sehingga anak mengalami kekurusan dan masalah emosional. Biasanya terjadi pada bayi yang tidak mendapat ASI cukup atau tidak diberi makanan pengganti, atau pada bayi yang sering mengalami diare.

Gejala marasmus meliputi: 1) Pertumbuhan terhambat, 2) Lemak di bawah kulit berkurang, 3) Penurunan massa otot dan kelemahan otot, 4) Berat badan lebih terpengaruh daripada ukuran kerangka tubuh seperti panjang badan, lingkar kepala, dan lingkar dada, 5) Wajah terlihat seperti orang tua (oldman’s face)

Kwashiorkor: Kwashiorkor adalah kondisi penyakit yang disebabkan oleh kekurangan protein, sering terjadi pada anak usia 1-3 tahun karena kebutuhan protein pada usia ini cukup tinggi. Gejala klinisnya meliputi: 1) Pertumbuhan terhambat, 2) Penurunan massa otot dan kelemahan otot, 3) Edema, 4) Wajah bengkak seperti bulan (moon face).

Untuk mengatasi masalah KEP, langkah-langkah yang dapat diambil termasuk penanganan infeksi yang mungkin terjadi dengan gejala seperti kejang, dehidrasi, dan diare. Setelah gejala tersebut teratasi, langkah selanjutnya adalah memberikan asupan makanan yang mencukupi dengan memberikan makanan tambahan berupa formula yang mengandung cukup kalori, vitamin, protein, dan nutrisi lainnya. Makanan tersebut harus memiliki kandungan kalori dan protein yang tinggi, serta cukup vitamin dan mineral, serta disajikan dalam bentuk yang mudah dicerna.

2. Kekurangan Vitamin A (KVA)

Sekitar 3,6 juta bayi meninggal selama periode neonatus, dengan dua pertiga kematian terjadi di Asia Selatan dan sub-Sahara Afrika. Lebih dari sepertiga kematian anak disebabkan oleh kekurangan gizi pada ibu dan anak, serta kekurangan mikronutrien seperti folat, zat besi, seng, dan vitamin A, B6, B12, C, E, dan riboflavin yang sering terjadi bersamaan. Kekurangan mikronutrien pada kehamilan disebabkan oleh kurangnya asupan daging, buah-buahan, dan sayuran, serta dapat dipicu oleh infeksi.

Kekurangan vitamin A terjadi ketika kadar vitamin A dalam jaringan penyimpanan (hati) rendah, menyebabkan kemampuan adaptasi terhadap kegelapan menurun, dan asupan karoten dari vitamin A sangat rendah (WHO, 1976)

Kekurangan vitamin A (KVA) biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan hingga 4 tahun yang mengalami kekurangan energi protein atau gizi buruk, tetapi juga bisa disebabkan oleh gangguan penyerapan pada usus. KVA juga merupakan penyebab utama kebutaan.

Kekurangan Vitamin A pada anak sering terjadi pada anak yang mengalami Kurang Energi Protein (KEP) atau gizi buruk karena kurangnya asupan zat gizi, termasuk vitamin A. Anak-anak dengan kekurangan vitamin A rentan terhadap infeksi seperti flu, campak, cacar air, diare, dan infeksi lainnya karena sistem kekebalan tubuh mereka melemah. Namun, kekurangan vitamin A juga dapat terjadi pada keluarga dengan penghasilan yang cukup, disebabkan oleh kurangnya pengetahuan orang tua, terutama ibu, tentang gizi yang baik. Selain itu, gangguan penyerapan pada usus juga dapat menyebabkan kekurangan vitamin A.

3. Kekurangan Yodium (GAKY)

Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) adalah sekelompok masalah yang disebabkan oleh kekurangan yodium dalam jangka waktu yang lama, yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan organisme hidup (Depkes, RI). Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) mencakup berbagai gangguan yang dapat dihindari dengan asupan iodium yang cukup oleh seluruh populasi. GAKI merujuk pada dampak kekurangan iodium pada pertumbuhan dan perkembangan manusia yang dapat dihindari dengan suplementasi iodium. Iodium adalah mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah kecil namun memiliki peran penting dalam pembentukan hormon tiroksin. Kelebihan iodium dapat menyebabkan peningkatan risiko iodine-induced hyperthyroidism (IIH), penyakit autoimun tiroid, dan kanker tiroid. Sebaliknya, kekurangan iodium dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik.

Struma kompleks, atau pembesaran kelenjar gondok, terjadi karena kurangnya asupan yodium. Semakin parah kekurangan yodiumnya, semakin besar kelenjar tiroidnya dan semakin serius komplikasinya. Kekurangan yodium yang parah pada ibu hamil dapat menyebabkan kretinisme pada bayi yang dilahirkan, serta kerusakan pada sistem saraf pusat dan hipotiroidisme. Secara klinis, kerusakan saraf pusat ini dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan, gangguan motorik, seperti masalah bicara, dan lain-lain.

Pemberian suplemen yodium dalam dosis yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid, mirip dengan kekurangan yodium. Pada kasus yang parah, hal ini bisa menyebabkan penyumbatan saluran napas dan menyebabkan kesulitan bernapas.

Pilihan strategi untuk mengatasi defisiensi yodium di suatu negara dapat ditentukan berdasarkan sejumlah faktor, termasuk tingkat keparahan kekurangan yodium, aksesibilitas populasi target, dan ketersediaan sumber daya. Mengatasi defisiensi yodium: Penggunaan garam beryodium, Iodinisasi air minum, Fortifikasi susu formula bayi, Fortifikasi produk pangan lainnya.

4. Anemia Gizi Besi (AGB)

Anemia gizi besi disebabkan oleh kurangnya asupan zat besi dalam makanan, merupakan kelainan gizi yang paling umum terjadi di seluruh dunia dan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang menyebar luas. Masalah ini sering terjadi pada wanita usia reproduktif dan anak-anak di daerah tropis dan subtropis. Menurut estimasi Bank Dunia, anemia karena kekurangan zat besi menyumbang 14 disability-adjusted life years per 1000 populasi dalam beban penyakit global. Hal ini memiliki dampak besar terhadap kesehatan, menyebabkan kematian prematur, dan menimbulkan kerugian ekonomi.

Anemia adalah kondisi di mana kadar hemoglobin dalam darah lebih rendah dari nilai normal untuk kelompok usia dan jenis kelamin tertentu. Anemia gizi terjadi ketika kadar hemoglobin dalam darah lebih rendah dari normal karena sel darah merah tidak mampu memproduksi hemoglobin dalam jumlah yang cukup untuk menjaga kadar hemoglobin tetap normal.

Menurut penyebabnya, anemia defisiensi zat besi dapat dibagi menjadi:

  • Kekurangan asupan zat besi, seperti pada kasus kurang energi protein (KEP), defisiensi diet relatif yang terjadi saat pertumbuhan cepat.
  • Penyerapan zat besi yang kurang efisien, seperti pada KEP, enteritis berulang, atau sindrom malabsorpsi.
  • Kebutuhan akan zat besi yang meningkat, seperti pada kasus infeksi atau pertumbuhan yang cepat.
  • Kehilangan zat besi yang meningkat, yang bisa disebabkan oleh ankilostomiasis, amoebiasis kronis, atau hemolisis intravaskuler kronis yang mengakibatkan peningkatan kadar hemosiderin.

Prinsip utama dalam mencegah anemia akibat kekurangan zat besi adalah memastikan asupan zat besi yang cukup secara teratur untuk memenuhi kebutuhan tubuh, serta meningkatkan jumlah dan ketersediaan zat besi dalam makanan. Ada empat pendekatan utama untuk mencapai hal ini: Suplementasi zat besi, Fortifikasi, Edukasi gizi, Pendekatan agrikultural dan hortikultural, 

5. Obesitas 

Obesitas adalah kondisi di mana tubuh menyimpan lemak berlebih dalam jaringan adiposa. Dalam bidang kesehatan masyarakat, jaringan adiposa tidak dapat diukur secara langsung, sehingga digunakanlah pengukuran antropometrik yang cukup kasar.

Obesitas terjadi ketika tubuh menimbun lemak secara berlebihan karena ketidakseimbangan antara asupan energi dan penggunaan energi dalam jangka waktu yang lama. Ada beberapa mekanisme fisiologis dalam tubuh yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan antara asupan energi dan penggunaan energi total, serta menjaga berat badan tetap stabil. Obesitas dapat terjadi pada orang dewasa, remaja, dan anak-anak. Menurut WHO tahun 2008, lebih dari 1,4 miliar orang dewasa memiliki berat badan berlebihan (overweight) dan lebih dari 500 juta orang dewasa menderita obesitas.

Obesitas disebabkan oleh faktor genetik, lingkungan, serta penggunaan obat-obatan dan hormonal. Menurut data Riskesdas 2014, sebagian besar masyarakat Indonesia mengonsumsi makanan berlemak (40,7%), makanan manis (53,1%), kurang mengonsumsi sayur dan buah (93,5%), dan aktivitas fisik yang kurang (26,1%). Rata-rata konsumsi sayur dan olahannya hanya sekitar 57,1 gram per orang per hari, jauh di bawah anjuran 200-300 gram per orang per hari. Konsumsi buah-buahan dan olahannya juga rendah, hanya sekitar 33,5 gram per orang per hari, jauh dari anjuran 3-5 porsi per hari. Kekurangan ini berarti kebutuhan tubuh akan vitamin, mineral, dan serat belum terpenuhi.

Prinsip manajemen obesitas adalah mengatur keseimbangan energi dengan memastikan asupan energi lebih sedikit daripada yang dibutuhkan, serta fokus pada peningkatan massa otot untuk meningkatkan laju metabolisme. Hal ini memungkinkan tubuh menggunakan energi yang berasal dari lemak berlebihan. Pengaturan ini harus menjadi gaya hidup yang berkelanjutan, bukan sekadar program sementara. Jika terjadi ketidakseimbangan energi dimana asupan lebih besar dari pengeluaran, kelebihan energi akan disimpan sebagai lemak. Oleh karena itu, individu yang mengalami obesitas harus menerapkan perubahan gaya hidup jangka panjang, bahkan sepanjang hidup mereka.

Sumber: 

Pipit Festi W. 2018. Buku Ajar Gizi. UMSurabaya Publishing
Kemenkes RI
Unicef. Laporan Tahunan Indonesia 2022


Soal Latihan 

  • Jelaskan secara singkat situasi gizi di Indonesia saat ini. Apa faktor-faktor utama yang menyebabkan masalah gizi di negara ini?
  • Bagaimana dampak masalah gizi di Indonesia, terutama pada kelompok rentan seperti anak-anak dan ibu hamil?
  • Apa yang telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah gizi? Apakah program-program ini efektif? Mengapa atau mengapa tidak?
  • Diskusikan peran masyarakat dalam mengatasi masalah gizi di Indonesia. Apa yang dapat dilakukan individu dan komunitas untuk meningkatkan status gizi?
  • Berikan rekomendasi Anda untuk perbaikan lebih lanjut dalam penanggulangan masalah gizi di Indonesia. Apa yang bisa dilakukan pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan individu untuk mencapai perubahan positif dalam hal ini?

Komentar